15 Oktober 2009

WAWANCARA KHUSUS : Kembalikan Citra Sulsel Sebagai Lumbung Sapi

Harian Fajar Makassar, Jumat, 02-10-09
Ketua III DPP PPSKI, Prof Dr Ir Jasmal A Syamsu MSi

PENGEMBANGAN dan peningkatan produksi sapi perlu didukung untuk memantapkan stabilitas ketahanan pangan nasional dengan sasaran utama pencapaian swasembada daging, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sulsel sebagai daerah potensial pengembangan sapi pun telah mencanangkan Gerakan Pencapaian Populasi Sapi Sejuta Ekor pada tahun 2013.

Bagaimana program ini bisa berjalan baik, apa kendala yang menghangtuinya, serta seperti apa upaya dan kemana arah pengembangan sapi di Sulsel ke depan? Berikut petikan wawancara Ketua III DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Prof Dr Ir Jasmal A Syamsu MSi dengan wartawan Fajar, Amiruddin di ruang kerjanya di Unhas, Kamis, 1 Oktober.


Sebelum gerakan ini diluncurkan, sudah ada pertemuan, termasuk melibatkan Anda. Bisa sedikit dijelaskan soal Gerakan Pencapaian Populasi Sapi Sejuta Ekor yang menjadi program Pemprov Sulsel?

Sebenarnya ini lahir karena ada beberapa permasalahan yang muncul. Pertama rendahnya tingkat kelahiran sapi dan tingginya pemotongan, pengeluaran dan kematian pada periode 2003-2007 sehingga menghasilkan pertumbuhan yang lambat. Kedua, sulitnya mendapatkan bibit ternak sapi dan sapi siap potong yang memenuhi standar teknis. Jadi itu dua diantara alasan munculnya program ini.

Sulsel dulu pernah menjadi lumbung sapi, kondisinya kini bagaimana?

Ya, Sulsel dulu pernah menjadi lumbung sapi. Kita dulu terkenal tahun 1980-an. Kita memasok ke Kalimantan, Sulawesi Tenggara, malah sampai ke Jawa. Tapi kondisi sekarang terbalik. Kita kini malah menerima dari Sultra (Sulawesi Tenggara, Red). Artinya kita tidak lagi mampu mensuplai kebutuhan kawasan timur atau secara nasional. Sehingga saya melihat terobosan pemerintah lewat program sejuta ekor sapi itu cukup bagus.

Saat ini, untuk populasi sapi, kita memiliki 600 ribu lebih atau anggaplah 700 ribu. Di 2013, kita harapkan, sesuai program ini, meningkat menjadi sejuta sapi. Jadi selama lima tahun, mulai 2008 pemprov mengestimasi ada peningkatan populasi 7 persen. Inilah yang perlu dikomunikasikan dengan pemkab dan pemkot. Jadi intinya, harus ada penyamaan persepsi antara provinsi dan kabupaten kota. Sebab sapi itu adanya di kabupaten/kota.


Apakah ini berarti setiap kabupaten/kota juga ditargetkan peningkatan 7 persen?

Ya, jadi inilah masalahnya. Ini saya lihat kurang di pedoman. Sebab menyamaratakan setiap kabupaten/kota itu naik 7 persen. Padahal karakteristik daerah itu berbeda. Masa mau disamakan Jeneponto, Bulukumba, dan Bone sementara potensi wilayah dan karakteristik peternak, serta pakan yang tersedia beda. Berbicara kenaikan populasi 7 persen, itu pertanyaannya dengan apa kita naikkan.

Sekarang kalau 700 ribu sapi, itukan tidak semua betina. Di situ ada jantan. Betina juga tentu masih harus dipilah juga. Berapa yang siap melahirkan, berapa induk sebab di situ juga ada anak. Jadi harus dilihat struktur populasi kita, apakah memang siap.

Seperti apa memang pola peningkatan populasi yang dilakukan lewat gerakan ini?

Kan ada dua cara. Pertama lewat kawin alam dan kedua, inseminasi buatan (IB). Yang melakukan itu ada di kabupaten. Dan saya melihat koordinasi kabupaten kota itu masih kurang dan mesti ditingkatkan. Jangan sampai program ini dinilai milik pemprov semata. Jadi di dalamnya termasuk ada sharing pendanaan. Kalau kabupaten tidak mendukung, itu tidak akan jalan.

Bagaimana Anda melihat progres program ini?

Saya melihat itu masih lambat. Terutama karena masih banyaknya perbedaan persepsi kabupaten/kota terhadap gerakan ini. Saya kurang tahu apakah provinsi kurang sosialisasi atau apa, karena yang pasti harus bergerak sama. Ini sama dengan pendidikan gratis. Biarpun gubernur mau kalau kabupaten tidak merespons sama saja. Jadi ini persoalan konsep. Kedua, perlu juga kita cermati, apakah benar data populasi 700 ribu sapi itu benar.

Sebab jika salah, maka estimasi pertumbuhan 7 persen itu akan salah. Sebab waktu workshop pertama dan saya diundang, ada beberapa kabupaten yang mempertanyakan data itu. Kabupaten mempertanyakan data dari provinsi. Soppeng misalnya apakah memang 17.921 ekor. Karena provinsi itu dalam melahirkan konsep memakai asumsi kelahiran 41 persen, pemotongan, kematian dan pengeluaran ternak 11,7 persen.

Dalam program ini dikenal kawin alam dan inseminasi buatan (IB). Apakah petugas dan petani kita bisa melaksanakannya dengan baik?

Inilah juga yang jadi persoalan. Untuk IB misalnya, banyak yang menentukan. Misalnya petugas, apakah mereka sudah terampil dalam hal ini. Selanjutnya sarana, apakah tersedia di kabupaten/kota. Misalnya kontainer dan peralatan lain. Ketiga, kesiapan sapi yang mau di IB. Ada tidak. Yang kawin alam lebih repot lagi. Inikan diserahkan ke petani. Sehingga saya pikir, konsep yang harus dibangun pertama adalah perbaikan data dulu, benar tidak. Sebab banyak yang mempertanyakan.

Apakah itu berarti kita tidak bisa berharap banyak bahwa program sejuta sapi ini akan sukses?

Itu sangat ditentukan oleh program apa yang mendukung. Ini kan grand program sejuta ekor. Harapan saya, semua program dinas peternakan harus mengerucut ke sejuta ekor. Apapun itu. Mulai pengendalian penyakit, pakan, itu harus ke sana. Tapi sejauh ini, saya belum melihat secara konsep bahwa program sejuta ekor ini didukung program dinas terkait. Kita takutnya, sub program yang digunakan mendukung gerakan sejuta ekor sapi ini sifatnya parsial.

Bagaimana dengan SDM petani atau peternak kita?

Saya juga melihat SDM petani dilupakan. Dan ada fenomena umum yang terjadi di Indonesia dalam hal pembangunan peternakan kita. Kalau kita kekurangan sapi, pendekatannya pengadaan sapi. Jadi logikanya, kalau kita punya sapi 500 dan kita ingin mencapai 1000, cukup membeli 500. Tapi kan tidak seperti itu sebenarnya.

Yang harus dikedepankan adalah bagaimana kemampuan petani. Banyak program sekarang, misalnya pengadaan, kita melupakan penguatan kelompoknya bagaimana, penguatan SDM petani, bagaimana pengetahuan sikap dan kemampuan petani.

Setelah itu, bagaimana potensi wilayah dan pakan. Untuk pakan misalnya, kita selalu mengatakan kekurangan pakan di musim kemarau, tapi saat ada program pengadaan sapi, pakan selalu dianggap bisa diselesaikan petani. Jadinya, saat sapi tiba di petani, banyak yang mati sebab kesiapan petani menerima program belum maksimal. Kita bisa lihat dengan jelas hal tersebut. Program penguatan lebih banyak ke fisik, pengadaan sapi, perbaikan infrastruktur. Padahal peternakan sapi ini, adalah industri biologis yang dikendalikan manusia. Jadi peternak yang menentukan.

Bicara soal sejuta sapi, bagaimana sebenarnya hitung-hitungannya menurut Anda dan apakah tidak ada gerakan lain yang bisa dilakukan dan lebih mengena?

Ya itulah juga. Dari mana sebenarnya sejuta, dan apa dasarnya. Kenapa mesti sejuta ekor di 2013, apakah hanya agar enak didengar atau apa. Yang harus dipahami sebenarnya bahwa persoalan mendasar sebenarnya, adalah bibit. Apalagi kita pernah menjadi sentra bibit. Saat ini, kita kekurangan bibit secara nasional.

Makanya, kalau saya, sebenarnya lebih bagus jika yang diprogramkan adalah gerakan pembibitan. Saya baru dari Kaltim mengikuti rapat koordinasi, yang juga dihadiri dirjen peternakan, dia juga mengatakan itu.

Jadi yang perlu adalah gerakan nasional untuk menyelesaikan ini. Jadi pada dasarnya, tidak ada sapi karena bibit yang tidak ada. Bibit itu dipengaruhi kelahiran. Jadi kita selalu berusaha menyelesaikan persoalan dengan pendekatan pengadaan sapi. Kabupaten A membeli di kabupaten B. Jadi sama sekali tidak ada peningkatan populasi hanya relokasi sapi. Jadi gerakan pembibitan sapi Sulsel lebih perlu. Jadi pembibitan di masyarakat perlu dilakukan. Jadi itu yang perlu dilakukan saat ini untuk mengembalikan citra kita sebagai lumbung sapi.

Apakah memang citra sebagai lumbung sapi bisa dikembalikan Sulsel?

Saya melihat bisa. Hanya memang sekarang kita harus memahami karakteristik pemeliharaan ternak kita di masyarakat. 70 persen sapi itu dikuasai peternakan rakyat. Dengan kondisi pemeliharaan semi intensif, artinya malam di kandangkan siang dilepas. Ada juga yang tidak dikandangkan, yang ekstensif. Artinya karakteristik itu harus didekati. Jadi program kita harus mendekati budayanya. Tapi tidak boleh langsung dibalik budaya itu. Harus didekati secara perlahan dengan pendekatan partisipatif.

Beberapa pemkab mengeluarkan Perda, di mana ternak, sapi misalnya yang berkeliaran ditangkapi, saya juga melihat itu sebagai bukti dan memberikan indikasi bahwa daerah tersebut sebenarnya peternakan bukan prioritas. Lebih condong ini karena hanya mau mendapat adipura sehingga sapi yang mengotori jalan dan lingkungan ditangkapi. Seharusnya, perlu dianalisis, kenapa sapi berkeliaran.

Kalau saya, berkeliarannya sapi karena persoalan pakan saja. Makanya petani kita mestinya diarahkan bagaimana memahami fungsi ternak dan manfaat pengandangan ternak dengan tidak serta merta mengandangkan ternaknya. Mereka harus diberi pemahaman manfaat pengandangan. Misalnya program biogas yang secara ekonomi membantu petani. Selain gas yang bisa untuk energi alternatif, limbah padat yang jadi pupuk.

Jadi pemerintah harus membangun peternakan berbasis zerowaste atau tanpa limbah. Untuk energi alternatif, dengan empat atau lima ekor sapi, bisa menghasilkan energi pengganti minyak tanah dan mengurangi pengeluaran rumah tangga petani. Demikian juga dengan pupuk yang memiliki nilai ekonomi menjadi sumber pendapatan petani. Kalau ini dipahami, program sejuta sapi bukan hal sulit untuk direalisasikan sebab orang memelihara sapi, biayanya bisa tertutupi dari kotoran sapi. Jadi pemahaman ini dulu perlu dibangun ditingkat petani dengan misalnya dalam bentuk focus group discussion dengan petani. (amiruddin@fajar.co.id)

DATA DIRI

Nama: Prof Dr Ir Jasmal A Syamsu MSi
Lahir: Watampone, 5 November 1968
Pekerjaan: Dosen Fakultas Peternakan Unhas
Jabatan Fungsional: Guru besar
Agama: Islam
Pendidikan: Doktor Ilmu Ternak IPB Bogor
Tanda jasa/penghargaan: Satya Lancana Karya Satya X Tahun, Dosen Berprestasi II Unhas 2009
Organisasi/lembaga:
  1. Ketua III DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)
  2. Sekretaris Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Sulsel (amr)

Langganan Via Email

Masukkan Email Anda ke Kotak dibawah ini, untuk berlangganan tulisan:

Dikirim Oleh FeedBurner

Curriculum Vitae


Tentang Prof. Dr. Ir. Jasmal A. Syamsu,M.Si ? Silahkan Klik disini

Mari Bergabung

Jasmal A Syamsu

Jasmal A Syamsu ©Template Blogger Green by Dicas Blogger. Desain Tataletak: Sang Blogger

TOPO