Edisi Tiga : Swasembada Daging Sapi 2014
Oleh : Jasmal A Syamsu
Guru Besar Fakultas Peternakan UNHAS dan
Sekretaris Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI)
Cabang Sulawesi Selatan
Pemerintah kembali mencanangkan program untuk mewujudkan swasembada daging sapi yaitu Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS-2014), yang merupakan kelanjutan program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 yang kedua program ini telah ”gagal” dicapai. Saat ini PSDS 2014 merupakan salah satu program dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Program ini juga merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti masa lalu.
Tantangan ini tidak mudah karena saat ini impor daging dan sapi bakalan sangat besar, sekitar 30 persen dari kebutuhan daging nasional. Bahkan ada kecenderungan volume impor terus meningkat yang secara otomatis akan menguras devisa yang sangat besar. Bila kondisi ini tidak diwaspadai dapat menyebabkan kamandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan. Impor yang sebelumnya dimaksudkan hanya sekedar mendukung dan menyambung kebutuhan daging domestic, ternyata justru telah berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal.
Dinamika populasi sapi selama kurun waktu 2005-2009 mengalami kenaikan, dari 10,6 juta ekor menjadi 12,6 juta ekor, dilain pihak produksi daging lokal mengalami fluktuatif dimana dari tahun 2005 sampai 2006 mengalami peningkatan 19,2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18,8% dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi hingga 2009 sebesar 19,1%. Impor daging baik yang berasal dari sapi bakalan dan daging selama 2005-2008 mengalami peningkatan rata-rata 10,6%, dan tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5% dibanding tahun 2008. Periode tiga tahun terakhir 2007-2009 laju pertumbuhan penyediaan daging dari produksi lokal lebih rendah dibanding konsumsi. Importasi sapi dan daging yang semakin besar dan melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri akan meningkatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain dan dapat mengancam kedaulatan pangan bangsa.
Dalam rangka PSDS 2014, Direktorat Jenderal Peternakan melaksanakan pertemuan dimana penulis hadir sebagai pembahas, untuk memaparkan/membahas dan curah pendapat untuk penyempurnaan blue print kegiatan prioritas pencapaian swasembada daging sapi 2014. Dari blue print terungkap bahwa beberapa skenario akan dilakukan untuk mencapai swasembada daging sapi yaitu yang bersifat pessimistic, sampai dengan optimistic. Diantara dua scenario tersebut terdapat scenario lainnya yaitu most likely. Ketiga scenario ini didasarkan pada scenario produksi domestic dan impor, baik sapi bakalan maupun daging. Skenario pessimistic adalah target-target yang telah ditetapkan yaitu produksi domestic 90% sehingga kita membuka kran import 10%. Skenario most likely sepenuhnya kita mampu memenuhi konsumsi termasuk pengolahan dan tidak diperlukan lagi impor, sehingga dibutuhkan populasi ternak domestic tahun 2014 sebanyak 14,38 juta ekor dan scenario optimistic apabila kita mampu dalam kurun waktu lima tahun mencapai target melebihi tingkat konsumsi masyarakat sehingga memiliki peluang eksport. Kegiatan prioritas yang akan dilakukan untuk keberhasilan program ini yaitu melalui penyediaan bakalan/daging sapi lokal, peningkatan produktivitas dan reproduksi sapi lokal, pencegahan pemotongan betina produktif, penyediaan bibit sapi, serta revitalisasi aturan distribusi dan pemasaran ternak/daging sapi.
Program prioritas yang akan dilakukan diatas telah pula dilakukan selama ini, namun pelaksanaan belum dapat mengantar kita mencapai swasembada daging. Beberapa saran untuk program prioritas tersebut, seperti keseluruhan program harus dihitung seberapa besar kontribusinya terhadap produksi daging jika swasembada diukur berdasarkan produksi daging untuk konsumsi dalam negeri. Pendekatan yang dilakukan harus sinergis, holistik, dan berjalan secara simultan, sehingga kita dapat mengukur keberhasilannya. Sebagai contoh, selama ini kita menemukan bahwa kelompok tani ternak menerima bantuan sapi bibit/induk, namun dipihak lain ada kelompok tani yang menerima bantuan pengolahan biogas, atau kompos, dan kelompok lainnya disentuh dengan teknologi inseminasi buatan, dan masih banyak lainnya. Akibatnya masing-masing kelompok tani di atas mengalami berbagai kendala karena dalam menyelesaikan persoalan peternak, didekati hanya secara partial saja, sehingga satu masalah selesai namun muncul masalah yang lain. Disinilah perlunya didekati secara holistik untuk menyelesaikan masalah yang ada di peternak, sehingga keberhasilan program dapat diukur.
Program lainnya seperti, pencegahan pemotongan betina produktif. Program ini mengalami benturan kepentingan antara pihak pemerintah yang mencegah pemotongan betina produktif dengan kepentingan peternak yang butuh dana/uang untuk membiayai hidup keluarganya seperti kebutuhan sekolah buat anaknya, serta kepentingan terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi daging. Kita tidak mampu menghalangi peternak untuk menjual ternaknya jika kebutuhan itu mendesak. Solusi selama ini dilakukan adalah pemerintah melakukan pembelian betina produktif tersebut, namun dana yang tersedia lebih rendah/kurang dibanding kebutuhan atau jumlah ternak produktif.
Belajar dari dua kali kegagalan program swasembada daging sapi 2005, dan 2010 dalam pertemuan dapat diidentifikasi akar masalahnya seperti berbagai data asumsi yang digunakan sangat bias sehingga tolak ukurnya tidak sesuai, sehingga dalam pertemuan masih banyak mempertanyakan data yang digunakan. Selain itu, program swasembada daging sapi tidak memiliki landasan hukum kuat, hanya dengan keputusan menteri pertanian padahal operasionalnya melibatkan lintas sektoral, disamping itu pedoman operasionalnya kurang membumi, serta masalah pendanaan yang masih kurang dibandingkan kebutuhan program ini.
Beberapa masukan yang perlu diperbaiki dalam rangka keberhasilan swasembada daging sapi 2014 adalah perlunya dasar hukum kuat melalui keputusan presiden, sebaiknya program bersifat multiyear sehingga pendanaan disiapkan hingga lima tahun, tolak ukur keberhasilan bukan hanya produksi daging namun bagaimana kesejahteraan petani, perlu konsolidasi dan koordinasi pusat/daerah, sistem perbibitan nasional disempurnakan karena perbibitan selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga penghargaan masyarakat terhadap bibit ternak belum membudaya. Akibatnya terjadi penurunan kualitas ternak dari tahun ke tahun dan pemulihan ini perlu revitalisasi kelembagaan perbibitan ternak baik pusat maupun daerah. Selain itu perlunya keterlibatan instansi lain dalam program ini dimana penanganan swasembada daging sapi selama ini tidak dilakukan secara sinergis dengan melibatkan instansi lain yang juga melaksanakan program-program yang dapat mendukung keberhasilan swasembada daging sapi, akibatnya kegiatan-kegiatan tidak menjadi fokus dan tersebar dimana-mana. Penyamaan visi dan persepsi mulai dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota terhadap sangat diperlukan sehingga semua elemen bergerak sama untuk mewujudkan program ini. Selain itu untuk keberhasilan PSDS 2014 diperlukan regulasi untuk pengendalian impor baik sapi bakalan dan daging, serta pengendalian pengeluaran dan pengiriman ternak antar daerah.
Dengan demikian, pencapaian swasembada daging 2014 merupakan tugas seluruh elemen masyarakat, dalam implementasinya harus dilaksanakan secara komprehensif dan penuh tanggung jawab dengan melibatkan semua pihak mencakup pemerintah pusat dan daerah, swasta serta masyarakat. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang kuat dalam hal kebijakan, pendanaan serta regulasi sehingga kegagalan pencapaian swasembada daging sapi tidak terulang lagi, semoga.