Meningkatkan Populasi Sapi Sulawesi Selatan
oleh : Jasmal A.Syamsu, Dr.Ir.M.Si
Fakultas Peternakan UNHAS, Makassar
Sulawesi Selatan pernah meraih predikat sebagai lumbung ternak sapi dengan kemampuan mensuplay kebutuhan pengadaan ternak sapi bibit atau sapi potong untuk daerah/propinsi lain. Akan tetapi, dewasa ini Sulawesi Selatan kurang mampu lagi memenuhi permintaan tersebut. Data statistik menunjukkan hingga akhir tahun 1990-an, populasi sapi di Sulawesi Selatan mencapai 1,2 juta ekor, dan merupakan wilayah dengan populasi tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tetapi lima tahun terakhir, populasi sapi hanya mencapai 700-an ribu ekor saja atau turunan sekitar 40%. Disinyalir sebagai penyebab kondisi itu terjadi antara lain terjadinya in breeding yang berlangsung cukup lama sehingga produksi ternak bibit rendah baik, produktivitas ternak menurun (berat badan) serta terbatasnya ketersediaan pakan yang ditandai dengan semakin berkurangnya lahan penggembalaan.
Pertumbuhan populasi sapi ditentukan keseimbangan antara jumlah kelahiran dengan kematian, pemotongan serta penjualan ternak sapi ke luar daerah. Jika hal ini tidak diperhatikan, akan terjadi pengurasan sumber daya ternak. Pemotongan dan pengiriman ternak sapi bibit atau sapi potong yang tidak terkendali hanya untuk memenuhi tuntutan pemenuhan kebutuhan konsumsi daging semata dengan mengabaikan perkembangan populasinya. Dampaknya adalah menurunnya mutu ternak, karena ternak berkualitas baik tidak tersisakan untuk pembibitan. Selain itu, terjadinya pemotongan sapi betina produktif sehingga mengakibatkan tingkat kelahiran ternak menurun yang berakibat pada jumlah populasi ternak sapi.
Untuk pengembangan populasi ternak sapi sangat dibutuhkan data dasar yang akurat sebagai pijakan dalam perencanaan program. Data yang tidak akurat akan menyebabkan kegagalan suatu program. Data struktur populasi sapi sangat penting artinya bagi pengembangan sapi potong karena terkait jumlah sapi pejantan dan betina dewasa, jumlah calon pejantan, dan calon induk dari suatu wilayah. Selain itu perlu pula diketahui data potensi wilayah seperti kepadatan ternak, usaha tani, potensi sumberdaya pakan. Ini erat kaitannya dengan perencanaan program jika akan dilaksanakan seperti pengadaan ternak sapi yang akan disebarkan ke seluruh wilayah penyebaran. Mudah-mudahan program Gerakan Optimalisasi Sapi (GOS) Sulawesi Selatan (2006-2009) berangkat dari data yang akurat sehingga dapat diestimasi kebutuhan dari program pendukung pengembangan ternak sapi pada wilayah kabupaten penerima.
Parameter keberhasilan
GOS adalah program strategis yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan menyelimuti ternak sapi di Sul Sel. Pertanyaannya adalah apakah program GOS dengan pengadaan sapi calon induk/bunting dapat meningkatkan populasi ternak sapi di Sulawesi Selatan? Secara sederhana, pengadaan sapi pastilah populasi sapi akan meningkat karena dilakukan pembelian ternak dan disebar ke wilayah penyebaran (kabupaten penerima), sehingga kabupaten penerima yang akan meningkatkan populasi ternaknya. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah sapi yang akan disebar tersebut berasal dari luar Sulawesi Selatan? Seharusnya sapi yang akan disebar berasal dari luar Sul Sel yang memiliki sumber bibit yang baik dan bebas berbagai penyakit ternak. Jika berasal dari Sul Sel, yang dilakukan hanya relokasi ternak sapi antar kabupaten di Sul Sel.
Keberhasilan program GOS tidak hanya diukur dari keberhasilan penyebaran sapi hingga diterima oleh kelompok peternak, tetapi outcome yang akan dicapai dengan program GOS. Secara spesifik parameter keberhasilan program GOS adalah meningkatnya jumlah kelahiran ternak, berat lahir, memperpendek umur melahirkan dan calving interval, serta meningkatkan pertambahan berat badan. Akhirnya terjadi perbaikan mutu ternak sapi yang pada gilirannya meningkatkan populasi sapi, mampu menyediakan sapi potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging masyarakat sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor daging, serta tentunya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak.
Berbagai parameter tersebut seyogyanya telah dijabarkan secara kuantitatif dalam bentuk proyeksi perkembangan sapi, sehingga akan jelas target yang ingin dicapai. Seperti berapa persen kelahiran, rata-rata berat lahir dan pertambahan berat badan diinginkan, dsb, yang akan menjadi asumsi dasar dalam penyusunan proyeksi perkembangan ternak sapi sehingga output dan outcome program GOS dapat terukur.
Kelompok penerima
Program GOS harus dipandang secara holistik, banyak faktor penentu keberhasilan program harus diperhatikan, bukan hanya pengadaan sapi. Dr. Soehadji mantan Direktur Jenderal Peternakan telah meletakkan dasar teoritis bahwa pengembangan peternakan sebagai industri biologis dimana peternak sebagai subyek, ternak sebagai obyek, lahan dan lingkungan sebagai basis ekologi, serta teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika teori ini dipakai sebagai pendekatan, maka faktor tersebut menjadi penentu keberhasilan program GOS.
Pertama, peternak sebagai subyek dan pelaku memegang peranan penting dalam kesuksesan program. Calon peternak penerima sapi adalah peternak yang telah melewati seleksi yang baik dan ketat. Tingkat kemauan, kesiapan, kemampuan, serta kapasitas pengetahuan dan keterampilan dalam manajemen pemeliharaan sapi menjadi kriteria penilaian peternak penerima. Sejatinya kelompok tani yang menerima adalah kelompok yang terbentuk atas asaz dari, oleh, dan untuk peternak. Kelompok tani lahir atas kemauan peternak bukan karena adanya penyebaran sapi yang hanya untuk memenuhi tuntutan program GOS sehingga kelompok dibentuk.
Kedua, ternak merupakan obyek sehingga sapi yang diterima peternak memiliki mutu genetik, kemampuan reproduksi yang baik, serta kriteria lainnya yang ditentukan dalam program GOS. Idealnya adalah calon induk yang diterima peternak akan menghasilkan anak (pedet) setiap tahunnya sehingga diperlukan penanganan yang baik agar efisiensi reproduksi tinggi dan didukung oleh pakan yang baik, akhirnya akan diikuti oleh produksi yang tinggi pula. Jika sapi yang diterima peternak dalam kondisi tidak sesuai spesifikasi maka produksi dan produktivitas ternak sulit ditingkatkan. Perlu adanya advokasi kepada peternak jika sapi yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi karena peternak akan memikul akibatnya, dan akhirnya tujuan program tidak tercapai.
Ketiga, lahan dan lingkungan sebagai basis ekologi berperan dalam penyediaan sumberdaya pakan. Produktivitas ternak meningkat sangat ditentukan oleh pakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan produksi ternak tersebut. Lahan penggembalaan sebagai sumber pakan semakin menurun jumlahnya sehingga perlu upaya pemanfaatan sumberdaya pakan lain seperti limbah tanaman pangan. Produksi limbah tanaman pangan di Sul Sel sebesar 6.874.105 ton bahan kering, dimana 73,22% jerami padi, jerami jagung 18.66% dan selebihnya limbah lain. Jika produksi ini dimanfaatkan secara optimal dapat mensuplay sebanyak 3.014.958 satuan ternak (ST). Potensi ini sangat besar, namun hanya 37,88% peternak yang memanfaatkan sebagai pakan.
Keempat, teknologi memegang peranan dalam mendukung dan mempercepat pengembangan sapi. Optimalisasi penerapan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan harus ditingkatkan sehingga tingkat kelahiran ternak dapat meningkat. Dalam memanfaatkan limbah sebagai pakan, penerapan teknologi pakan harus dioptimalkan karena 54.80% peternak telah mengetahui tentang teknologi pakan, seperti amoniasi, hay, silase dan teknologi fermentasi lainnya. Dilain pihak, tingkat penerapan teknologi masih sangat kurang, hanya 21,19% peternak menerapkan terknologi pakan.
Akhirnya, dengan program GOS bisakah populasi sapi meningkat dengan pengadaan sapi? Jawabannya bisa, jika pengadaan sapi diikuti dengan program pendukung pada daerah lokasi penyebaran seperti peningkatkan kapasitas peternak (community development dan capacity building), optimaliasi pemanfaatan dan penerapan teknologi pakan, reproduksi, serta program lain yang terkait. Semoga dengan program GOS, Sul Sel akan kembali meraih citra sebagai lumbung ternak sapi di Indonesia dan anggaran yang sekitar 12 milyar tidak sia-sia.
Tribun Timur, Makassar
20 Juli 2006